Berbicara tentang Reggae pasti tidak
akan pernah terlepas dari sosok Bob Marley. Namanya tercatat sebagai salah satu
figur terpenting di dunia musik abad 20. Harus diakui, dikenalnya musik reggae
di belantara dunia musik sangat di pengaruhi oleh sosok musisi ini. Terlahir
denagn nama Robert Nesta Marley pada tanggal 6 Februari 1945 di Nine Miles,
sebuah desa kecil di Jamaika. Lahir dari rahim seorang budak bernama Cedella
Booker dan seorang ayah kulit putih bernama Norval Sinclair Marley, satu awal
kisah hidup yang bermula dari ironi penindasan kaum kulit putih atsa budak
hitam Jamaika. Karena perbedaan kulit ini, Norval Sinclair Marley memutuskan
untuk meninggalkan Cedella dalam keadaan hamil, yang kelak akan melahirkan
sosok pemusik legendaris di bumi ini.
Awal
kehidupan Bob Marley sarat dengan penderitaan. Apalagi status budak yang
mengalir dari darah ibunya secara pasti mengakrabkannya dengan kemiskinan dan
keterbelakangan. Kondisi politik dan perekonomian Jamaika saat itu sungguh
sangat memprihatinkan. Pemerintah kolonial yang semena-mena dan hanya
memuliakan kroni-kroninya, sangat kontras dengan kehidupan para budak kulit
hitam yang hidup dalam ruang kedap kemiskinan. Hal inilah yang membuat Cedella
memutuskan untuk pindah dan bermukim di Kingston tepatnya di Trench Town, di
rumah paman Bob Marley yang bernama Solomon.
Di kota inilah obsesinya terhadap
dunia musik bermula. Dari jalanan Bob Marley mulai menepak pergaulan keras
Kingston. Perkelahian geng, minuman keras dan penikaman sudah menjadi menu yang
teramat biasa dalam kehidupan keseharian Kingston. Bob Marley yang telah tumbuh
dewasa mulai berinteraksi dengan kehidupan ini, bahkan dikehidupan jalanan nama
Bob Marley cukup disegani. Walaupun hanya berperawakan kecil(tinggi 163 cm), Bob
Marley terkenal kuat dan mendapat gelar dari teman-temannya, “Tuff Gong”. Saat
itu terkenal istilah Rude Bwai atau Rude Boy, kolompok anak-anak muda yang
mencari identitas diri dengan menjadi berandalan Kingston. Musik menjadi
inspirasi, pembangkit semanagt dan media perlawanan mereka akan kesemena-menaan
pemerintah. Bob Marley banyak mendengarkan musik R&B dan Soul yang sedang
berkembang, yang kemudian hari menjadi inspirasi irama Reggae, melalui siaran
radio Jamaika dan Amerika. Selain itu di jalanan Kingston dia menikmati
hentakan irama Ska yang merupakan spirit tersendiri bagi Bob Marley, dan
kemudian mencoba memainkanya di studio-studio musik kecil di Kingston.
Joe Higgs, seorang musisi Jamaiaka yang
mengelola sebuah “sound system” (Semacam radio dan studio keliling yang
memainkan musik Amerika dan Jamaika), menjadi pemandu musik pertama Bob Marley.
Bob Marley mulai bergaul dengan musisi-musisi Jamaika di Thrid Street sebuah komunitas musik milik Joe Higgs. Bersama denagn Neville Bunny Livingston dan Peter Tosh, Bob
Marley mulai belajar mendalamai musik di Third
Street. Mereka berlatih lagu-lagu
hits Amerika. Dan pada awal tahun1962 terbentuklah The Teenagers dengan
personil yang terdiri dari Bob Marley, Bunny Livingstone, Peter Tosh, Beverly
Kelso, Junior Braithwaite dan Cherry Smith. Disinilah Bob Marley menciptakan
sebuah lagu denagn judul Judge Not
dan mulai menawarkannya ke produser-produser rekaman di Kingston dan
sekitarnya. Akhirnya dengan perjuangan yang cukup lama Bob Marley dan bandnya
mendapatkan panggilan audisi dari Beverly’s, sebuah studio musik kepunyaan
seorang produser Cina yang bernama Leslie Kong. Dalam audisi itu Bob Marley
menyanyikan lagu Judge Not dan berakhir dengan tandatangan kontrak sebesar 20
poundsterling. Judge Not pun dirilis
kemudian menyusul dua karya lainnya Terror
dan One Cup of Coffe di tahun 1962.
Atas kerjasama Leslie Kong dan Chriss Blackwell (Island Record), Judge Not dan One
Cup of Coffe mulai dipasarkan di Inggris walaupun pada akhirnya kurang
laris akibat maraknya perkembangan musik di golongan kaum kulit putih sendiri.
Adapun nama The Teenagers berganti dengan nama The Wailing Rude Boys kemudian
berganti lagi menjadi The Wailing Wailers dan akhirnya memilih nama The Wailers
sebagai nama band mereka. Beberapa sumber mengatakan sekitar tahun ini Bob
Marley pernah menikah dengan seorang gadis yang bernama Cheryl Murray dan
mempunyai keturunan bernama Imani Carole.
Selain sibuk dengan The Wailers, Bob
Marley juga bekerja di Studio One (studio besar di Kingston) kepunyaan Clement
Coxsone Dodd, seorang produser rekaman yang paling terkenal di Jamaiaka saat
itu. Di studio One Bob Marley bertugas mencari dan mengaudisi pemusik-pemusik
berbakat. Disela kesibukannya Bob Marley banyak menulis lirik lagu, salah satu
lagunya yang berjudul Simmer Down
(sebuah lagu yang bercerita tentang Rude boy) ditawarkan ke Tood. Tood tertarik
dengan lagu Simmer down yang berirama
ska yang telah terkenal saat itu. Diantaranya The Teenagers (band ska asuhan
studio One), Rolando Alphonso (saxafone), pianis Jackie Minto dan seorang
gitaris bernama Ernest Ranglin. The Wailers dengan hits Simmer Down menjadi terkenal di Jamaika. Bahkan Simmer Down menduduki tangga lagu
teratas Jamaika pada tahun 1964. Keberhasilan inilah yang menbuat Clement Dodd
mengikat The Wailers dengan kontrak 3 poundsterling perminggu untuk setiap
anggota The Wailers. Tema lagu The Wailers saat itu mengangkat masalah-masalah
rakyat kecil Jamaika. Penderitaan, kekerasan jalanan atau Rude Boys sampai pada
pengucilan kaum ghetto Jamaika. Setelah hits Simmer Down, menyusul
kemudian It Hurts to be Alone dan Lonesome Feeling. Sama dengan Simmer Down, lagu inipun mampu
menghentak tangga lagu Jamaika. Adapun saat itu Ska telah menjadi aliran musik
yang sangat digandrungi dan melahirkan musisi-musisi terkenal Jamaika lainnya.
Diantaranya Jimmy Cliff, Prince Buster, Byroon Lee & The Dragonaires dan
Millie Small denagn hits My Boy Lollipop.
Geliat Musik Jamaika saat itu cukup
berkembang. Radio-radio Jamaika dan Soundsystem aktif memutar lagu-lagu karya
musisi-musisi Jamaika. Sementara itu hits-hits luar dengan mudah masuk dan
diserap oleh para penikmat musik Jamaika dari siaran-siaran radio-radio
Amerika. Diantaranya adalah Jhon Lennon, The Beatles serta Jr. Walkers &
The Allstars yang kelak menginspirasi Bob marley dalam bermusik. Sementara itu
formasi The Wailers mengalami perubahan penting dengan keluarnya Cherry, Junior
Braithwaite serta Baverly Kelso. Sekitar tahun inilah (tepatnya 1965), Bob
Marley berkenalan dengan Rita Anderson yang tergabung dalam The Soulettes, pada saat menjadi pelatih
musik di studio One. Perjalanan cinta yang cukup singkat tidak menjadi
penghalang bagi Bob Marley dan Rita Anderson untuk memutuskan menikah pada
tanggal 10 februari 1966. Keinginan Bob Marley untuk total di dunia musik serta
memproduksi kaset sendiri menjadi alasan kepindahan Bob Marley ke Amerika untuk
bekerja dan mengumpulkan modal. Di Amerika Bob Marley tinggal bersama ibunya
yang telah pindah sebelumnya dan menikah dengan edward.
Sepeninggal Bob Marley pada 21 April
1966, Kaisar Ethiopia Haile Selassie yang menurut kepercayaan Rastafarian
sebagai titisan Tuhan, melakukan kunjungan kenegaraan ke Jamaika. Ribuan
manusia yang utamanya terdiri dari kaum kulit hitam tumpah ruah datang untuk melihat
Sang Mesias yang menurut keyakinan mereka akan membawa kaum kulit hitam
keperubahan menuju kemuliaan.
Dunia kerja Amerika yang sangat sulit
apalagi Bob Marley sebagai imigran yang tidak mempunyai skill kerja yang
memadai, membuat Bob Marley memutuskan untuk kembali ke Jamaika. The Wailers
kembali berkumpul di studio One dan mulai melakukan aktivitas bermusiknya. Di
Jamaika sendiri perkembangan musik yang terus berimpropisasi melahirkan gaya
baru yang terkenal dengan sebutan Rocksteady. Konsep Rocksteady membawa ide
baru untuk Ska. Beat Ska perlahan melambat menjadi ritme yang dikendalikan oleh
Bass. Lahirlah Bend Down Low serta Mellow Mood dari The Wailers dan
memutuskan album ini untuk dipasarkan sendiri secara independent.
Anggota The Wailers secara patungan
akhirnya memiliki modal untuk membangun toko kaset kecil di Grenwich Park Road.
Mereka menjual kaset-kaset The Wailers dan The Soulettes berkeliling di
kota-kota dan daerah sekitar Kingston. Bahkan beberapa sumber mengatakan
anggota The Wailers menjajakan kaset mereka berkeliling dengan menggunakan
sepeda. Kemudian The Wailers membuat single berikutnya Bend Down Low-nya Bob Marley dan I’m The Thougest karya Peter Tosh dan memasarkannya di Inggris
melalui Island Record atas bantuan dari Chriss Blackwell. Usaha dari The
Wailers memasarkan dan memproduksi kaset mereka kurang mendapat rspon dari
penikmat musik Jamaika saat itu. Sementara itu salah satu band dari studio One
yaitu The Skatalist dengan hits The Gun
of Navarone dan seorang musisi kulit hitam Desmond Dekker dengan hits
Shanty Town berhasil melakukan terobosan dengan menembus tangga musik Inggris.
Bob Marley akhirnya memilih untuk beristirahat sejenak dari kesibukan bermusik
bersama Rita yang sebelumnya telah menjadi Rastafarian, Bob Marley memutuskan
pindah ke St. Ann dan memperdalam Rastafarian-nya.
Bertani, menanam ganja kemudian
menghisapnya sebagai meditasi, menjadi keseharian kehidupan Bob Marley. Rita
akhirnya melahirkan seorang anak perempuan kemudian diberi nama Cedella, nama
yang sama dengan ibunda Bob Marley. Kehidupan Rastafarian Bob Marley tetap
diselangi dengan menuliskan syair-syair tentang kehidupan serta banyak hal
tentang ajaran Rastafarian yang kelak akan menjadi ciri khas penulisan syair
lagu Bob Marley. Kepercayaan Rastafarian sendiri dianggap sebagian masyarakat
dan pemerintah sebagi ajaran yang meresahkan. Apalagi ganja yang menjadi bagian
ritual Rastafarian membuat para anggotanya sering berurusan dengan aparat,
termasuk diantaranya Bunny Livinston, Peter Tosh, dan Bob Marley sendiri.
Disinilah Bob marley berkenalan dengan Mortimer Planno seorang tokoh
Rastafarian yang kemudian mengenalkannya dengan Johny Nash. Johny Nash sendiri
telah melahirkan hits Cupid, Hold Me
Tight dan You Got Soul yang membuat namanya terkenal
dipercaturan musik Jamaika dan Amerika. Dan atas rekomendsi dari Johny Nash,
Bob Marley mengikuti audisi yang dilakukan oleh Danny Sims. Audisi ini berhasil
meyakinkan Danny Sims dan mengikat kerjasama dengan The Wailers untuk
menuliskan lagu yang akan dibawakan oleh Johny Nash dibawah bendera JAD (lebel
musik milik Nash).
Di Jamaika sendiri sekitar tahun
1968 mulai muncul trend musik baru dengan istilah Reggae. Reggae sendiri adalah
kombinasi dari iringan tradisional Afrika, Amerika dan Blues serta folk (lagu
rakyat) Jamaika. Nama Desmond Dekker saat itu menjadi buah bibir dikalangan
pemusik Jamaika dan Amerika. Dengan hits Israelites,
untuk pertama kalinya single Jamaika menduduki tangga nomer satu di Jamaika dan
menempati jajaran 10 besar hits Amerika. Sementara itu Bob Marley mendapatkan
tawaran lainnya dari Lee Perry untuk berkolaborasi dengan beberapa musisi
diantaranya Aston Barret pada bass, Glen Adams (keyboard), Carlton Barret
(drum) serta dengan The Upsetters. Kolaborasi ini menghasilkan single seperti Mr. Brown, Duppy Conqueror, dan Soul
Rebel. Kemudian menyusul Small Axe,
Kaya, Lively Up Your Self, dan Don’t
Rock my Boat (kolaborasi ini berlangsung antara tahun 1969-1970).
Dari beberapa kontrak The Wailers
akhirnya Bob Marley mampu memproduseri album mereka sendiri. Kembali terjadi
perubahan pada tubuh The Wailers, Aston Barret dan Carlton Barret (bersaudara),
dan Tyronie Downie yang mengisi kekosongan pada keyboard sepeninggal Glen Adams
ke Amerika. Lahirlah Trench Town Rock,
Craven Choke, Puppy, dan Lick Samba
yang mereka rekam di Dynamic Studio dan dipasarkan di bawah bendera “Tuff
Gong”. Jalur musik internasional mulai mereka tepak dan The Wailers memutuskan
pindah ke Inggris setelah mendapat tawaran dari CBS untuk menjadi band
pengiring Johny Nash. The Wailers kemudian mengangkat Brent Clarke menjadi manager mereka di Eropa.
Lahirlah Stirt Up, You Purred Sugar Me,
Guapa Jelly dalam senggang waktu kerja samanya dengan Johny Nash. Akhirnya
pintu sukses muali terbuka setelah Chriss Blackwell mengikat kontrak dengan The
Wailers dan mengucurkan dana 8000 poundsterling untuk pembuatan album di Island
Record. Bukan hanya itu, “Tuff Gong” dipercayakan menjadi lebel sendiri di
Jamaika sebagai bentuk kerjasama dengan Island Record. The wailers kembali ke
Jamaika untuk mempersiapkan materi lagu dan melakukan penggubahan lagu-lagu
mereka sebelumnya termasuk diantaranya Stirt
Up. Setelah materi siap, Bob Marley membawanya ke Inggris dan
menyempurnakannya di Island Record dan di bantu oleh seorang auditional Player
Gitar bernama Wayne Perkins. Akhirnya pada bulan April 1973 The Wailers
melahirkan debut pertama dibawah bendera Island Record dengan title Catch A Fire.
Walaupun tidak berhasil masuk ke
tangga lagu Inggris, Catch A Fire
mendapat respon yang cukup bagus dari penikamat musik Jamaika, Inggris dan
Amerika. Beberapa media memberitakan tentang “kelahiran” The Wailers dalam
percaturan musik internasional, diantaranya Melody
Maker di Inggris dan majalah Rolling
Stone. The Wailers menjalani tour pertama pada bulan April 1973 di Inggris
kemudian bersiap-siap untuk jadwal tour berikutnya di Amerika. Satu kejadian
yang sangat penting dari sejarah The Wailers terjadi menjelang awal tour
Inggris. Bunny Livingstone yang merupakan salah satu pendiri The Wailers
memilih memundurkan diri, dan akhirnya atas rekomendasi dari Peter Tosh mereka
memasukan Joe Higgs untuk mengisi kekosongan selam tour di Amerika. Setelah
perjalanan tour yang cukup melelahkan, The Wailers kembali keJamaika dan
bermarkas di 56 Hope Road Kingston, sebuah kawasan permukiman elit yang dibeli
oleh Chriss Blackwell untuk kantor “Tuff Gong” yang merupakan perwakilan Island
Record di Jamaika. Kemudian kembali The Wailers mempersiapkan materi untuk
album berikutnya. Hallelujah Time, Get Up
Stand Up, I Shot the Sherrif, Burnin and Lootin menjadi materi untuk album
kedua The Wailers dengan title Burnin’.
Di tour Burnin’ inilah kembali The
Wailers kehilangan salah satu pendirinya dengan keluarnya Peter Tosh. Kemudian
menyusul lagi personil lainnya Wire Lindo meninggalkan Bob Marley denagn The
Wailers-nya.
Kemungkinan yang terjadi dari
keluarnya para personil awal dari The Wailers adalah sosok Bob Marley yang
telah begitu mendominasi personil lainnya. Bahkan pada beberapa tour sebelumnya
The Wailers malah sering disebut-sebut sebagi “Bob Marley and The Wailers”. Hal
ini sangat mungkin terjadi, lika-liku panjang perjuangan Bunny Livingstone dan
Peter Tosh menemani Bob Marley membentuk The Wailres, adalah legalitas bahwa
The wailers bukan hanya Bob Marley. The Wailers memilih bertahan dengan
memasukan beberapa personil baru. I-Threes (trio Rita Marley, Marcia Griffiths
dan Judy Mowat) sebagai penyanyi latar, kemudian mengangkat Don Taylor sebagai
manager baru. Formasi ini melahirkan Knotty
Dread, Talkin’ Blues dan Road Block kemudian
berlanjut lagi dengan persiapan album berikutnya dengan title Natty Dread yang bermaterikan lagu-lagu
baru dan lagu lama yang dirilis ulang diantaranya Bend Down Low, Lively Up Your Self serta No Woman No Cry yang legendaris. Natty Dread dirilis pada Januari 1975, disinilah untuk pertama
kalinya secara jelas managemen The wailers berganti nama menjadi Bob Marley and
The Wailers. Popularitas Bob Marley mampu mengangkat penjualan album Natty Dread bahkan album Burnin’ dan Catch A Fire yang telah
diliris sebelumnya. Bob Marley dengan pesona Reggae dan sabda-sabda Rastafarian
dalam lirik lagunya mampu menempatkan namanya sejajar dengan pemusik-pemusik
terkenal saat itu. Tangga lagu Amerika ditepakinya, bahkan mereka menolak
menjadi band pembuka untuk konser Rolling Stone. Tour Natty Dread di Amerika dan Inggris telah membawa Bob Marley sebagai
seorang musisi dunia yang menghembuskan aroma Rastafarian dari setiap lenting
ganja yang dihisapnya. Kecintaannya pada Kaisar Haile Selassie, Jah (Tuhan)
Rastafarian, menginspirasi Marley untuk menulis lagu War yang sekaligus menjadi pertanda meninggalnya Kaisar Haile
Selassie pada tanggal 27 Agustus 1974. Rastafarian berduka, tetapi mereka yakin
dengan kepercayaan bahwa arwah Jah akan menyebar dan akan lahir kembali dalam
sosok manusia lain yang terpilih. Kematian Haile Selassie menorehkan luka
tersendiri pada diri Bob Marley. Peristiwa tersebut menginspirasinya untuk
menuliskan lirik Jah Live yang
kemudian terjual laris dibawah bendera Tuuf Gong. Lagu No Woman No Cry dirilis ulang oleh Chriss Blackwell dan mampu
menduduki tangga lagu Jamaika, Inggris dan Amerika.
Perjalanan tour yang panjang
mengharuskan Bob Marley jauh dari tanah kelahirannya. Sementara itu di Jamaika
kisruh politik sedang berkecimuk. Pertikaian antara dua kubu politik yaitu PNP
(People National Party) sebagai partai penguasa dengan JLP (Jamaican Labour
Party). Dan pasti korbannya adalah rakyat jelata yang selalu menjadi tumbal
keserakahan politik. Bob Marley termasuk menjadi korban penembakan saat itu
yang terjadi di 56 Hope Road menjelang persiapan konser Smile Jamaica yang direncanakan pada tanggal 5 Desember 1976.
Selain Bob Marley yang turut menjadi korban adalah gitaris Don Kinsey, manager
John Taylor dan juga Rita Marley yang mengalami luka-luka pada kejadian itu.
Atas suaka yang diberikan Micheal Manley sebagai perdana mentri dan Mentri
Pemerintahan Tony Spaulding, konser Smile
Jamaica tetap dilaksanakan. Ribuan orang datang memenuhi Outdoor National
heroes Circle. Kesedihan Bob Marley akan tanah kelahirannya yang dilanda perang
saudara, mengalir manis terwakili dari rintihan syir War yang menjadi tembang pembuka. Kemudian menyusul Trench Town Rock, Rastaman Vibration dan
hits-hits lainnya. Konser selama kuarng lebih 90 menit sedikit mengobati
luka-derita rakyat Jamaika yang akhirnya kembali memilih Micheal Manley sebagai
perdana mentri pada pemilihan umum beberapa hari setelah konser Smile Jamaica berlangsung.
Setelah kejadian yang menyisakan
trauma pada diri Bob Marley, Bob Marley and The Wailers untuk bermukim di
Chelsea, Inggris. Persiapan materi untuk album berikutnya segera dirampungkan.
Disela-sela kesibukan ini Bob Marley diundang oleh gereja ortodoks Ethiopia di
London untuk dipertemukam dan dikenalkan dengan Asfa Wossan, pangeran Ethiopia
yang merupakan cucu dari mendiang Kaisar Haile Selassie. Dalam pertemuan ini
Asfa Wossan memberikan cincin Lion of
Judah yang sebelumnya adalah kepunyaan Haile Selassie yang kelak akan
menjadi barang kebanggaan Bob Marley dan dikenakannya sampai akhir hayatnya.
Perjuangan Bob Marley dalam mengajarkan Rastafarian melalui syair-lagunya
menjadi perhatian tersendiri bagi para pemuka-pemuka Rastafarian dan bahkan Bob
Marley dianggap sebagai “The Prophet” (Sang Nabi) oleh para pemeluk kepercayaan
ini. Bermaterikan beberapa lagu lama dan lagu baru (One Love, Medley, People Get Ready dan kisah asmaranya Bob Marley
dengan Cindy Breakspeare, Waiting In Vain),
Album Exodus diluncurkan pada bulan
Mei 1977.
Disela-sela tour Exodus di Paris, Bob Marley mendapatkan kecelakaan pada saat
bermain Bola dengan wartawan-wartawan Prancis. Jadwal tour yang padat dan
ketidakpedulian Bob Marley pada lukanya mengakibatkan luka pada ibu jari kaki
Bob Marley semakin serius. Karena luka yang semakin parah serta hasil visum
dari dokter spesialis Inggris yang menyatakan ada infeksi dan bahkan telah ada
sel kanker malignan melanoma yang mengharuskan amputasi, Bob Marley memutuskan
menunda tour Exodus di Amerika. Bob
Marley memilih beristirahat di Vista Line Miami tanpa menghiraukan saran dokter
untuk melakukan amputasi. Amputasi dalam ajaran Rastafarian adalah hal yang
tidak dibenarkan. Dikatakan secara langsung oleh Bob Marley, “Rasta no abide amputation. I don’t allow a
man to be dismantled” Rasta tidak memperkenankan amputasi dan aku tidak
mengijinkan seorangpun menghancurkan kepercayaan itu. Dibawah perawatan dokter
pribadinya Bob Marley menjalani pengobatan alternatif dengan mneggunakan
pengobatan yang tentu saja tidak dilarang oleh Rastafarian yang dianutnya.
Setelah merasa cukup sehat, Marley
kembali mempersiapkan tour dunia Bob Marley and The Wailers dengan mengusung Kaya dengan rute Amerika, Inggris,
Prancis, Spanyol, Swedia, Denmark, Australia, Selandia Baru, dan berakhir di
Jepang. Diantara kesibukan tour dunia ini, Bob Marley mendapat undangan dari Twelpe Tribes of Israel (sekte
Rastafarian dimana Bob Marley menjadi anggotanya dan diberi nama Joseph), untuk
menggelar konser perdamaian di Jamaika. Kecintaan akan tanah air dan keprihatinan
Bob Marley terhadap perang saudara yang berlangsung, membuat Bob Marley
antusias untuk ikut serta dalam acara suci ini.
Pada tanggal 22 April 1978
konser yang bertajuk The People Peace
diselenggarakan. Tampak hadir dua kubu yang berseteru, Micheal Manley dan
Edward Seaga serta tokoh-tokoh politik lainnya. Peter Tosh tampil sebagai
musisi pembuka bernyanyi seraya menyulut dan menghisap ganja yang pada akhirnya
ditangkap aparat setelah konser usai. Kemudian Bob Marley and The Wailers naik
panggung disambut gemuruh sekitar 30.000 penonton. Trench Town Rock menjadi lagu pembuka, lagu War kemudian mengalir membasuh derita rakyat yang begitu
bersemangat mengikuti setiap lagu yang dibawakan oleh Bob Marley and The
Wailers. Bob Marley kemudian mengajak perdana mentri Jamaika Micheal Manley dan
pimpinan oposisi JLP Edward Seaga untuk naik ke panggung. Diiringi lagu One Love, Bob Marley yang diapit oleh kedua pimpinan
kubu yang berseteru, mengangkat tangan kanan Micheal Manley dan Edward Seaga
kemudian menyatukannya kedalam kepalan tangan sebagai perlambangan perstuan
serta mengakhiri persengketaan kedua belah pihak. Satu “rekayasa suci” yang
dilakukan oleh Bob Marley untuk meretas kembali perdamaian yang ternodai oleh
kepentingan politik yang maha tega.
Tour dunia Bob Marley and The Wailers
yang dimulai dari Amerika dan berakhir di Hawai sukses besar. Tercatat, dalam
tour dunia ini Bob Marley and The Wailers menjalani 71 kali pertunjukan.
Syair-lagu, Reggae, Serta, Bob Marley, bagaikan sihir yang mampu menciptakan
daya magis tersendiri. Lewat Reggae dan Bob Marley, Rastafarian yang sangat
identik dengan Bob Marley and The Wailers mulai dikenal oleh masyarakat dunia.
Sabda-sabda sang nabi telah menyebarkan benih-benih perdamaian, keadilan, dan
kesejahteraan ras. Atas jasa-jasanya ini, Bob Marley mendapatkan medali Thind World Peace dari delegasi Afrika
di PBB. Setelah tour dunia usai, untuk beberapa saat Bob Marley beristirahat di
Addis Ababa Afrika dan kembali ke Jamaika sekitar tahun 1979. Kembali pada
kesibukan bermusik, Bob Marley and The Wailers telah siap dengan materi album
berikutnya. Afrika Unite, Zimbabwe, So
Much Trouble in The World, Third World, dan Ambush in The Night, diluncurkan dengan title Survival. Dalam satu kesempatan, Bob Marley mendapat undangan
kehormatan dari Rhodesia Afrika dan tampil di Zimbabwe Independence
Concert-Rufaro Stadium-Salisbury, menjadi aksi diturunkannya bendera kolonial, Union Jack. Album berikutnya kembali
dirilis dan langsung dilanjutkan dengan tour Uprising Tuff Gong di Eropa dan Amerika, dan sebagai akhir
kerjasama Bob Marley and The Wailers dengan Island Record sesuai dengan kontrak
yang disepakati.
Satu tawaran kontrak besar datang
dari perusahaan musik internasional Polly Gram Record untuk lima album senilai
10 juta dollar dan 3 juta dollar untuk merilis album musisi-musisi Jamaiak yang
berada di bawah naungan Tuff Gong Record. Bukti sahih betapa Reggae yang begitu
identik denagn Afrika dan Rastafarian telah begitu diterima oleh khayalak musik
dunia. Akan tetapi “Sang Nabi” yang manusia biasa, tidak menyadari bahwa
penyakit yang dideritanya telah semakin parah. Sementara itu satu jadwal konser
di Stanley Theater-Pensylvania Amerika telah menunggu. Kesehatan Bob Marley yang
telah menurun drastis, tidak menyurutkan rasa profesionalisme dan kecintaannya
pada musik untuk memilih tetap tampil walaupun dokter pribadinya (dr. Frazier)
merekomendasikannya untuk beristirahat total. Bob Marley and The Wailers
kembali memainkan “ritual” Reggae-nya. Sang Nabi mulai berjingkrak, memejamkan
mata, mengacungkan kepalan tangan sebagai simbol perlawanan sambil melantunkan
sabda-sabda Rastafarian yang mengalir masuk membasahi jiwa-jiwa penggemarnya.
Kemudian brlanjut dengan satu lagu versi akustik Redemption Song yang dinyanyikan sendiri oleh Bob Marley. Tembang Redemption Song mengalun dalam kemuliaan
syairnya, semulia sang pelantun dalam penghayatannya, seakan menyadari ini
bahwa ini adalah sabda terakhir Sang Nabi untuk dunia.