Rabu, 05 Desember 2012

Bob Marley


Berbicara tentang Reggae pasti tidak akan pernah terlepas dari sosok Bob Marley. Namanya tercatat sebagai salah satu figur terpenting di dunia musik abad 20. Harus diakui, dikenalnya musik reggae di belantara dunia musik sangat di pengaruhi oleh sosok musisi ini. Terlahir denagn nama Robert Nesta Marley pada tanggal 6 Februari 1945 di Nine Miles, sebuah desa kecil di Jamaika. Lahir dari rahim seorang budak bernama Cedella Booker dan seorang ayah kulit putih bernama Norval Sinclair Marley, satu awal kisah hidup yang bermula dari ironi penindasan kaum kulit putih atsa budak hitam Jamaika. Karena perbedaan kulit ini, Norval Sinclair Marley memutuskan untuk meninggalkan Cedella dalam keadaan hamil, yang kelak akan melahirkan sosok pemusik legendaris di bumi ini.

Awal kehidupan Bob Marley sarat dengan penderitaan. Apalagi status budak yang mengalir dari darah ibunya secara pasti mengakrabkannya dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Kondisi politik dan perekonomian Jamaika saat itu sungguh sangat memprihatinkan. Pemerintah kolonial yang semena-mena dan hanya memuliakan kroni-kroninya, sangat kontras dengan kehidupan para budak kulit hitam yang hidup dalam ruang kedap kemiskinan. Hal inilah yang membuat Cedella memutuskan untuk pindah dan bermukim di Kingston tepatnya di Trench Town, di rumah paman Bob Marley yang bernama Solomon. 

Di kota inilah obsesinya terhadap dunia musik bermula. Dari jalanan Bob Marley mulai menepak pergaulan keras Kingston. Perkelahian geng, minuman keras dan penikaman sudah menjadi menu yang teramat biasa dalam kehidupan keseharian Kingston. Bob Marley yang telah tumbuh dewasa mulai berinteraksi dengan kehidupan ini, bahkan dikehidupan jalanan nama Bob Marley cukup disegani. Walaupun hanya berperawakan kecil(tinggi 163 cm), Bob Marley terkenal kuat dan mendapat gelar dari teman-temannya, “Tuff Gong”. Saat itu terkenal istilah Rude Bwai atau Rude Boy, kolompok anak-anak muda yang mencari identitas diri dengan menjadi berandalan Kingston. Musik menjadi inspirasi, pembangkit semanagt dan media perlawanan mereka akan kesemena-menaan pemerintah. Bob Marley banyak mendengarkan musik R&B dan Soul yang sedang berkembang, yang kemudian hari menjadi inspirasi irama Reggae, melalui siaran radio Jamaika dan Amerika. Selain itu di jalanan Kingston dia menikmati hentakan irama Ska yang merupakan spirit tersendiri bagi Bob Marley, dan kemudian mencoba memainkanya di studio-studio musik kecil di Kingston. 

Joe Higgs, seorang musisi Jamaiaka yang mengelola sebuah “sound system” (Semacam radio dan studio keliling yang memainkan musik Amerika dan Jamaika), menjadi pemandu musik pertama Bob Marley. Bob Marley mulai bergaul dengan musisi-musisi Jamaika di Thrid Street sebuah komunitas musik milik Joe Higgs. Bersama denagn  Neville Bunny Livingston dan Peter Tosh, Bob Marley mulai belajar mendalamai musik di Third Street. Mereka berlatih lagu-lagu hits Amerika. Dan pada awal tahun1962 terbentuklah The Teenagers dengan personil yang terdiri dari Bob Marley, Bunny Livingstone, Peter Tosh, Beverly Kelso, Junior Braithwaite dan Cherry Smith. Disinilah Bob Marley menciptakan sebuah lagu denagn judul Judge Not dan mulai menawarkannya ke produser-produser rekaman di Kingston dan sekitarnya. Akhirnya dengan perjuangan yang cukup lama Bob Marley dan bandnya mendapatkan panggilan audisi dari Beverly’s, sebuah studio musik kepunyaan seorang produser Cina yang bernama Leslie Kong. Dalam audisi itu Bob Marley menyanyikan lagu Judge Not dan berakhir dengan tandatangan kontrak sebesar 20 poundsterling. Judge Not pun dirilis kemudian menyusul dua karya lainnya Terror dan One Cup of Coffe di tahun 1962. Atas kerjasama Leslie Kong dan Chriss Blackwell (Island Record), Judge Not  dan One Cup of Coffe mulai dipasarkan di Inggris walaupun pada akhirnya kurang laris akibat maraknya perkembangan musik di golongan kaum kulit putih sendiri. Adapun nama The Teenagers berganti dengan nama The Wailing Rude Boys kemudian berganti lagi menjadi The Wailing Wailers dan akhirnya memilih nama The Wailers sebagai nama band mereka. Beberapa sumber mengatakan sekitar tahun ini Bob Marley pernah menikah dengan seorang gadis yang bernama Cheryl Murray dan mempunyai keturunan bernama Imani Carole.

Selain sibuk dengan The Wailers, Bob Marley juga bekerja di Studio One (studio besar di Kingston) kepunyaan Clement Coxsone Dodd, seorang produser rekaman yang paling terkenal di Jamaiaka saat itu. Di studio One Bob Marley bertugas mencari dan mengaudisi pemusik-pemusik berbakat. Disela kesibukannya Bob Marley banyak menulis lirik lagu, salah satu lagunya yang berjudul Simmer Down (sebuah lagu yang bercerita tentang Rude boy) ditawarkan ke Tood. Tood tertarik dengan lagu Simmer down yang berirama ska yang telah terkenal saat itu. Diantaranya The Teenagers (band ska asuhan studio One), Rolando Alphonso (saxafone), pianis Jackie Minto dan seorang gitaris bernama Ernest Ranglin. The Wailers dengan hits Simmer Down menjadi terkenal di Jamaika. Bahkan Simmer Down menduduki tangga lagu teratas Jamaika pada tahun 1964. Keberhasilan inilah yang menbuat Clement Dodd mengikat The Wailers dengan kontrak 3 poundsterling perminggu untuk setiap anggota The Wailers. Tema lagu The Wailers saat itu mengangkat masalah-masalah rakyat kecil Jamaika. Penderitaan, kekerasan jalanan atau Rude Boys sampai pada pengucilan kaum ghetto Jamaika. Setelah hits  Simmer Down, menyusul kemudian It Hurts to be Alone dan Lonesome Feeling. Sama dengan Simmer Down, lagu inipun mampu menghentak tangga lagu Jamaika. Adapun saat itu Ska telah menjadi aliran musik yang sangat digandrungi dan melahirkan musisi-musisi terkenal Jamaika lainnya. Diantaranya Jimmy Cliff, Prince Buster, Byroon Lee & The Dragonaires dan Millie Small denagn hits My Boy Lollipop. 

Geliat Musik Jamaika saat itu cukup berkembang. Radio-radio Jamaika dan Soundsystem aktif memutar lagu-lagu karya musisi-musisi Jamaika. Sementara itu hits-hits luar dengan mudah masuk dan diserap oleh para penikmat musik Jamaika dari siaran-siaran radio-radio Amerika. Diantaranya adalah Jhon Lennon, The Beatles serta Jr. Walkers & The Allstars yang kelak menginspirasi Bob marley dalam bermusik. Sementara itu formasi The Wailers mengalami perubahan penting dengan keluarnya Cherry, Junior Braithwaite serta Baverly Kelso. Sekitar tahun inilah (tepatnya 1965), Bob Marley berkenalan dengan Rita Anderson yang tergabung dalam  The Soulettes, pada saat menjadi pelatih musik di studio One. Perjalanan cinta yang cukup singkat tidak menjadi penghalang bagi Bob Marley dan Rita Anderson untuk memutuskan menikah pada tanggal 10 februari 1966. Keinginan Bob Marley untuk total di dunia musik serta memproduksi kaset sendiri menjadi alasan kepindahan Bob Marley ke Amerika untuk bekerja dan mengumpulkan modal. Di Amerika Bob Marley tinggal bersama ibunya yang telah pindah sebelumnya dan menikah dengan edward.

Sepeninggal Bob Marley pada 21 April 1966, Kaisar Ethiopia Haile Selassie yang menurut kepercayaan Rastafarian sebagai titisan Tuhan, melakukan kunjungan kenegaraan ke Jamaika. Ribuan manusia yang utamanya terdiri dari kaum kulit hitam tumpah ruah datang untuk melihat Sang Mesias yang menurut keyakinan mereka akan membawa kaum kulit hitam keperubahan menuju kemuliaan.

Dunia kerja Amerika yang sangat sulit apalagi Bob Marley sebagai imigran yang tidak mempunyai skill kerja yang memadai, membuat Bob Marley memutuskan untuk kembali ke Jamaika. The Wailers kembali berkumpul di studio One dan mulai melakukan aktivitas bermusiknya. Di Jamaika sendiri perkembangan musik yang terus berimpropisasi melahirkan gaya baru yang terkenal dengan sebutan Rocksteady. Konsep Rocksteady membawa ide baru untuk Ska. Beat Ska perlahan melambat menjadi ritme yang dikendalikan oleh Bass. Lahirlah Bend Down Low serta Mellow Mood dari The Wailers dan memutuskan album ini untuk dipasarkan sendiri secara independent.

Anggota The Wailers secara patungan akhirnya memiliki modal untuk membangun toko kaset kecil di Grenwich Park Road. Mereka menjual kaset-kaset The Wailers dan The Soulettes berkeliling di kota-kota dan daerah sekitar Kingston. Bahkan beberapa sumber mengatakan anggota The Wailers menjajakan kaset mereka berkeliling dengan menggunakan sepeda. Kemudian The Wailers membuat single berikutnya Bend Down Low-nya Bob Marley dan I’m The Thougest karya Peter Tosh dan memasarkannya di Inggris melalui Island Record atas bantuan dari Chriss Blackwell. Usaha dari The Wailers memasarkan dan memproduksi kaset mereka kurang mendapat rspon dari penikmat musik Jamaika saat itu. Sementara itu salah satu band dari studio One yaitu The Skatalist dengan hits The Gun of Navarone dan seorang musisi kulit hitam Desmond Dekker dengan hits Shanty Town berhasil melakukan terobosan dengan menembus tangga musik Inggris. Bob Marley akhirnya memilih untuk beristirahat sejenak dari kesibukan bermusik bersama Rita yang sebelumnya telah menjadi Rastafarian, Bob Marley memutuskan pindah ke St. Ann dan memperdalam Rastafarian-nya.

Bertani, menanam ganja kemudian menghisapnya sebagai meditasi, menjadi keseharian kehidupan Bob Marley. Rita akhirnya melahirkan seorang anak perempuan kemudian diberi nama Cedella, nama yang sama dengan ibunda Bob Marley. Kehidupan Rastafarian Bob Marley tetap diselangi dengan menuliskan syair-syair tentang kehidupan serta banyak hal tentang ajaran Rastafarian yang kelak akan menjadi ciri khas penulisan syair lagu Bob Marley. Kepercayaan Rastafarian sendiri dianggap sebagian masyarakat dan pemerintah sebagi ajaran yang meresahkan. Apalagi ganja yang menjadi bagian ritual Rastafarian membuat para anggotanya sering berurusan dengan aparat, termasuk diantaranya Bunny Livinston, Peter Tosh, dan Bob Marley sendiri. Disinilah Bob marley berkenalan dengan Mortimer Planno seorang tokoh Rastafarian yang kemudian mengenalkannya dengan Johny Nash. Johny Nash sendiri telah melahirkan hits Cupid, Hold Me Tight dan  You Got Soul yang membuat namanya terkenal dipercaturan musik Jamaika dan Amerika. Dan atas rekomendsi dari Johny Nash, Bob Marley mengikuti audisi yang dilakukan oleh Danny Sims. Audisi ini berhasil meyakinkan Danny Sims dan mengikat kerjasama dengan The Wailers untuk menuliskan lagu yang akan dibawakan oleh Johny Nash dibawah bendera JAD (lebel musik milik Nash).

Di Jamaika sendiri sekitar tahun 1968 mulai muncul trend musik baru dengan istilah Reggae. Reggae sendiri adalah kombinasi dari iringan tradisional Afrika, Amerika dan Blues serta folk (lagu rakyat) Jamaika. Nama Desmond Dekker saat itu menjadi buah bibir dikalangan pemusik Jamaika dan Amerika. Dengan hits Israelites, untuk pertama kalinya single Jamaika menduduki tangga nomer satu di Jamaika dan menempati jajaran 10 besar hits Amerika. Sementara itu Bob Marley mendapatkan tawaran lainnya dari Lee Perry untuk berkolaborasi dengan beberapa musisi diantaranya Aston Barret pada bass, Glen Adams (keyboard), Carlton Barret (drum) serta dengan The Upsetters. Kolaborasi ini menghasilkan single seperti Mr. Brown, Duppy Conqueror, dan  Soul Rebel. Kemudian menyusul Small Axe, Kaya, Lively Up Your Self, dan Don’t Rock my Boat (kolaborasi ini berlangsung antara tahun 1969-1970).

Dari beberapa kontrak The Wailers akhirnya Bob Marley mampu memproduseri album mereka sendiri. Kembali terjadi perubahan pada tubuh The Wailers, Aston Barret dan Carlton Barret (bersaudara), dan Tyronie Downie yang mengisi kekosongan pada keyboard sepeninggal Glen Adams ke Amerika. Lahirlah Trench Town Rock, Craven Choke, Puppy, dan Lick Samba yang mereka rekam di Dynamic Studio dan dipasarkan di bawah bendera “Tuff Gong”. Jalur musik internasional mulai mereka tepak dan The Wailers memutuskan pindah ke Inggris setelah mendapat tawaran dari CBS untuk menjadi band pengiring Johny Nash. The Wailers kemudian mengangkat  Brent Clarke menjadi manager mereka di Eropa. Lahirlah Stirt Up, You Purred Sugar Me, Guapa Jelly dalam senggang waktu kerja samanya dengan Johny Nash. Akhirnya pintu sukses muali terbuka setelah Chriss Blackwell mengikat kontrak dengan The Wailers dan mengucurkan dana 8000 poundsterling untuk pembuatan album di Island Record. Bukan hanya itu, “Tuff Gong” dipercayakan menjadi lebel sendiri di Jamaika sebagai bentuk kerjasama dengan Island Record. The wailers kembali ke Jamaika untuk mempersiapkan materi lagu dan melakukan penggubahan lagu-lagu mereka sebelumnya termasuk diantaranya Stirt Up. Setelah materi siap, Bob Marley membawanya ke Inggris dan menyempurnakannya di Island Record dan di bantu oleh seorang auditional Player Gitar bernama Wayne Perkins. Akhirnya pada bulan April 1973 The Wailers melahirkan debut pertama dibawah bendera Island Record dengan title Catch A Fire.

Walaupun tidak berhasil masuk ke tangga lagu Inggris, Catch A Fire mendapat respon yang cukup bagus dari penikamat musik Jamaika, Inggris dan Amerika. Beberapa media memberitakan tentang “kelahiran” The Wailers dalam percaturan musik internasional, diantaranya Melody Maker di Inggris dan majalah Rolling Stone. The Wailers menjalani tour pertama pada bulan April 1973 di Inggris kemudian bersiap-siap untuk jadwal tour berikutnya di Amerika. Satu kejadian yang sangat penting dari sejarah The Wailers terjadi menjelang awal tour Inggris. Bunny Livingstone yang merupakan salah satu pendiri The Wailers memilih memundurkan diri, dan akhirnya atas rekomendasi dari Peter Tosh mereka memasukan Joe Higgs untuk mengisi kekosongan selam tour di Amerika. Setelah perjalanan tour yang cukup melelahkan, The Wailers kembali keJamaika dan bermarkas di 56 Hope Road Kingston, sebuah kawasan permukiman elit yang dibeli oleh Chriss Blackwell untuk kantor “Tuff Gong” yang merupakan perwakilan Island Record di Jamaika. Kemudian kembali The Wailers mempersiapkan materi untuk album berikutnya. Hallelujah Time, Get Up Stand Up, I Shot the Sherrif, Burnin and Lootin menjadi materi untuk album kedua The Wailers dengan title Burnin’. Di tour Burnin’ inilah kembali The Wailers kehilangan salah satu pendirinya dengan keluarnya Peter Tosh. Kemudian menyusul lagi personil lainnya Wire Lindo meninggalkan Bob Marley denagn The Wailers-nya.

Kemungkinan yang terjadi dari keluarnya para personil awal dari The Wailers adalah sosok Bob Marley yang telah begitu mendominasi personil lainnya. Bahkan pada beberapa tour sebelumnya The Wailers malah sering disebut-sebut sebagi “Bob Marley and The Wailers”. Hal ini sangat mungkin terjadi, lika-liku panjang perjuangan Bunny Livingstone dan Peter Tosh menemani Bob Marley membentuk The Wailres, adalah legalitas bahwa The wailers bukan hanya Bob Marley. The Wailers memilih bertahan dengan memasukan beberapa personil baru. I-Threes (trio Rita Marley, Marcia Griffiths dan Judy Mowat) sebagai penyanyi latar, kemudian mengangkat Don Taylor sebagai manager baru. Formasi ini melahirkan Knotty Dread, Talkin’ Blues dan Road Block kemudian berlanjut lagi dengan persiapan album berikutnya dengan title Natty Dread yang bermaterikan lagu-lagu baru dan lagu lama yang dirilis ulang diantaranya Bend Down Low, Lively Up Your Self serta No Woman No Cry yang legendaris. Natty Dread dirilis pada Januari 1975, disinilah untuk pertama kalinya secara jelas managemen The wailers berganti nama menjadi Bob Marley and The Wailers. Popularitas Bob Marley mampu mengangkat penjualan album Natty Dread bahkan album Burnin’ dan  Catch A Fire yang telah diliris sebelumnya. Bob Marley dengan pesona Reggae dan sabda-sabda Rastafarian dalam lirik lagunya mampu menempatkan namanya sejajar dengan pemusik-pemusik terkenal saat itu. Tangga lagu Amerika ditepakinya, bahkan mereka menolak menjadi band pembuka untuk konser Rolling Stone. Tour Natty Dread di Amerika dan Inggris telah membawa Bob Marley sebagai seorang musisi dunia yang menghembuskan aroma Rastafarian dari setiap lenting ganja yang dihisapnya. Kecintaannya pada Kaisar Haile Selassie, Jah (Tuhan) Rastafarian, menginspirasi Marley untuk menulis lagu War yang sekaligus menjadi pertanda meninggalnya Kaisar Haile Selassie pada tanggal 27 Agustus 1974. Rastafarian berduka, tetapi mereka yakin dengan kepercayaan bahwa arwah Jah akan menyebar dan akan lahir kembali dalam sosok manusia lain yang terpilih. Kematian Haile Selassie menorehkan luka tersendiri pada diri Bob Marley. Peristiwa tersebut menginspirasinya untuk menuliskan lirik Jah Live yang kemudian terjual laris dibawah bendera Tuuf Gong. Lagu No Woman No Cry dirilis ulang oleh Chriss Blackwell dan mampu menduduki tangga lagu Jamaika, Inggris dan Amerika.

Perjalanan tour yang panjang mengharuskan Bob Marley jauh dari tanah kelahirannya. Sementara itu di Jamaika kisruh politik sedang berkecimuk. Pertikaian antara dua kubu politik yaitu PNP (People National Party) sebagai partai penguasa dengan JLP (Jamaican Labour Party). Dan pasti korbannya adalah rakyat jelata yang selalu menjadi tumbal keserakahan politik. Bob Marley termasuk menjadi korban penembakan saat itu yang terjadi di 56 Hope Road menjelang persiapan konser Smile Jamaica yang direncanakan pada tanggal 5 Desember 1976. Selain Bob Marley yang turut menjadi korban adalah gitaris Don Kinsey, manager John Taylor dan juga Rita Marley yang mengalami luka-luka pada kejadian itu. Atas suaka yang diberikan Micheal Manley sebagai perdana mentri dan Mentri Pemerintahan Tony Spaulding, konser Smile Jamaica tetap dilaksanakan. Ribuan orang datang memenuhi Outdoor National heroes Circle. Kesedihan Bob Marley akan tanah kelahirannya yang dilanda perang saudara, mengalir manis terwakili dari rintihan syir War yang menjadi tembang pembuka. Kemudian menyusul Trench Town Rock, Rastaman Vibration dan hits-hits lainnya. Konser selama kuarng lebih 90 menit sedikit mengobati luka-derita rakyat Jamaika yang akhirnya kembali memilih Micheal Manley sebagai perdana mentri pada pemilihan umum beberapa hari setelah konser Smile Jamaica berlangsung.

Setelah kejadian yang menyisakan trauma pada diri Bob Marley, Bob Marley and The Wailers untuk bermukim di Chelsea, Inggris. Persiapan materi untuk album berikutnya segera dirampungkan. Disela-sela kesibukan ini Bob Marley diundang oleh gereja ortodoks Ethiopia di London untuk dipertemukam dan dikenalkan dengan Asfa Wossan, pangeran Ethiopia yang merupakan cucu dari mendiang Kaisar Haile Selassie. Dalam pertemuan ini Asfa Wossan memberikan cincin Lion of Judah yang sebelumnya adalah kepunyaan Haile Selassie yang kelak akan menjadi barang kebanggaan Bob Marley dan dikenakannya sampai akhir hayatnya. Perjuangan Bob Marley dalam mengajarkan Rastafarian melalui syair-lagunya menjadi perhatian tersendiri bagi para pemuka-pemuka Rastafarian dan bahkan Bob Marley dianggap sebagai “The Prophet” (Sang Nabi) oleh para pemeluk kepercayaan ini. Bermaterikan beberapa lagu lama dan lagu baru (One Love, Medley, People Get Ready dan kisah asmaranya Bob Marley dengan Cindy Breakspeare, Waiting In Vain), Album Exodus diluncurkan pada bulan Mei 1977. 

Disela-sela tour Exodus di Paris, Bob Marley mendapatkan kecelakaan pada saat bermain Bola dengan wartawan-wartawan Prancis. Jadwal tour yang padat dan ketidakpedulian Bob Marley pada lukanya mengakibatkan luka pada ibu jari kaki Bob Marley semakin serius. Karena luka yang semakin parah serta hasil visum dari dokter spesialis Inggris yang menyatakan ada infeksi dan bahkan telah ada sel kanker  malignan melanoma yang mengharuskan amputasi, Bob Marley memutuskan menunda tour Exodus di Amerika. Bob Marley memilih beristirahat di Vista Line Miami tanpa menghiraukan saran dokter untuk melakukan amputasi. Amputasi dalam ajaran Rastafarian adalah hal yang tidak dibenarkan. Dikatakan secara langsung oleh Bob Marley, “Rasta no abide amputation. I don’t allow a man to be dismantled” Rasta tidak memperkenankan amputasi dan aku tidak mengijinkan seorangpun menghancurkan kepercayaan itu. Dibawah perawatan dokter pribadinya Bob Marley menjalani pengobatan alternatif dengan mneggunakan pengobatan yang tentu saja tidak dilarang oleh Rastafarian yang dianutnya.
 

Setelah merasa cukup sehat, Marley kembali mempersiapkan tour dunia Bob Marley and The Wailers dengan mengusung Kaya dengan rute Amerika, Inggris, Prancis, Spanyol, Swedia, Denmark, Australia, Selandia Baru, dan berakhir di Jepang. Diantara kesibukan tour dunia ini, Bob Marley mendapat undangan dari Twelpe Tribes of Israel (sekte Rastafarian dimana Bob Marley menjadi anggotanya dan diberi nama Joseph), untuk menggelar konser perdamaian di Jamaika. Kecintaan akan tanah air dan keprihatinan Bob Marley terhadap perang saudara yang berlangsung, membuat Bob Marley antusias untuk ikut serta dalam acara suci ini.

Pada tanggal 22 April 1978 konser yang bertajuk The People Peace diselenggarakan. Tampak hadir dua kubu yang berseteru, Micheal Manley dan Edward Seaga serta tokoh-tokoh politik lainnya. Peter Tosh tampil sebagai musisi pembuka bernyanyi seraya menyulut dan menghisap ganja yang pada akhirnya ditangkap aparat setelah konser usai. Kemudian Bob Marley and The Wailers naik panggung disambut gemuruh sekitar 30.000 penonton. Trench Town Rock menjadi lagu pembuka, lagu War kemudian mengalir membasuh derita rakyat yang begitu bersemangat mengikuti setiap lagu yang dibawakan oleh Bob Marley and The Wailers. Bob Marley kemudian mengajak perdana mentri Jamaika Micheal Manley dan pimpinan oposisi JLP Edward Seaga untuk naik ke panggung. Diiringi lagu One Love,  Bob Marley yang diapit oleh kedua pimpinan kubu yang berseteru, mengangkat tangan kanan Micheal Manley dan Edward Seaga kemudian menyatukannya kedalam kepalan tangan sebagai perlambangan perstuan serta mengakhiri persengketaan kedua belah pihak. Satu “rekayasa suci” yang dilakukan oleh Bob Marley untuk meretas kembali perdamaian yang ternodai oleh kepentingan politik yang maha tega.

Tour dunia Bob Marley and The Wailers yang dimulai dari Amerika dan berakhir di Hawai sukses besar. Tercatat, dalam tour dunia ini Bob Marley and The Wailers menjalani 71 kali pertunjukan. Syair-lagu, Reggae, Serta, Bob Marley, bagaikan sihir yang mampu menciptakan daya magis tersendiri. Lewat Reggae dan Bob Marley, Rastafarian yang sangat identik dengan Bob Marley and The Wailers mulai dikenal oleh masyarakat dunia. Sabda-sabda sang nabi telah menyebarkan benih-benih perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan ras. Atas jasa-jasanya ini, Bob Marley mendapatkan medali Thind World Peace dari delegasi Afrika di PBB. Setelah tour dunia usai, untuk beberapa saat Bob Marley beristirahat di Addis Ababa Afrika dan kembali ke Jamaika sekitar tahun 1979. Kembali pada kesibukan bermusik, Bob Marley and The Wailers telah siap dengan materi album berikutnya. Afrika Unite, Zimbabwe, So Much Trouble in The World, Third World, dan Ambush in The Night, diluncurkan dengan title Survival. Dalam satu kesempatan, Bob Marley mendapat undangan kehormatan dari Rhodesia Afrika dan tampil di Zimbabwe Independence Concert-Rufaro Stadium-Salisbury, menjadi aksi diturunkannya bendera kolonial, Union Jack. Album berikutnya kembali dirilis dan langsung dilanjutkan dengan tour Uprising Tuff Gong di Eropa dan Amerika, dan sebagai akhir kerjasama Bob Marley and The Wailers dengan Island Record sesuai dengan kontrak yang disepakati.

Satu tawaran kontrak besar datang dari perusahaan musik internasional Polly Gram Record untuk lima album senilai 10 juta dollar dan 3 juta dollar untuk merilis album musisi-musisi Jamaiak yang berada di bawah naungan Tuff Gong Record. Bukti sahih betapa Reggae yang begitu identik denagn Afrika dan Rastafarian telah begitu diterima oleh khayalak musik dunia. Akan tetapi “Sang Nabi” yang manusia biasa, tidak menyadari bahwa penyakit yang dideritanya telah semakin parah. Sementara itu satu jadwal konser di Stanley Theater-Pensylvania Amerika telah menunggu. Kesehatan Bob Marley yang telah menurun drastis, tidak menyurutkan rasa profesionalisme dan kecintaannya pada musik untuk memilih tetap tampil walaupun dokter pribadinya (dr. Frazier) merekomendasikannya untuk beristirahat total. Bob Marley and The Wailers kembali memainkan “ritual” Reggae-nya. Sang Nabi mulai berjingkrak, memejamkan mata, mengacungkan kepalan tangan sebagai simbol perlawanan sambil melantunkan sabda-sabda Rastafarian yang mengalir masuk membasahi jiwa-jiwa penggemarnya. Kemudian brlanjut dengan satu lagu versi akustik Redemption Song yang dinyanyikan sendiri oleh Bob Marley. Tembang Redemption Song mengalun dalam kemuliaan syairnya, semulia sang pelantun dalam penghayatannya, seakan menyadari ini bahwa ini adalah sabda terakhir Sang Nabi untuk dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar