Senin, 03 Desember 2012

Not All About Drugs

Bob Marley sebuah nama yang tak diragukan lagi sebagai figur terpenting di dunia musik abad ke-20. Dua dekade setelah Bob Marley wafat, Imensitas (kebesaran) Bob Marley menempatkannya menjadi satu di antar figur-figur transenden terbesar sepanjang abad. Riak-riak dari apa yang sudah di lakukannya menyeberang dari sungai musiknya ke dalam samudra politik, etika, gaya, filsafat, dan agama. Sejarah hidup Bob Marley menjadi mitos yang abadi, kepergiannya tidak kemudian membuat dunia lena dan melupakannya. Musik Bob Marley terus bertumbuh kian populer yang menghasilkan aliran pendapatan untuk harta warisan keluarga, perjuangannya serta menorehkan namanya dalam sejarah musik abad ke-20.Bob Marley dimasukan ke dalam Rock and Roll Hall of fame pada tahun 1994. Majalah Time memilih album Bob Marley&The Wailers Exodus sebagai album terbesar pada abad ke-20.

Pada tahun 2001 ia memenangkan Grammy Lifetime Achievement Award. Pada tahun yang sama kemudian film dokumenter tentang hidupnya dibuat oleh Jeremy Marre, Rebel Music, dinominasikan untuk the Best Long Form Music Video documentary at the Grammies, serta penghargaan untuk beberapa kategori lainnya. Dengan kontribusi dari Rita, The Wailers, dan para pecinta Marley serta anaknya, film tersebut menceritakan kisah tentang Marley, yang juga disertai kata-kata Marley sendiri. Pada musim panas 2006, Kota New York memberikan penghargaan tersendiri buat Bob Marley dengan memberi nama sebagai jalan gereja dari Jalan Ramsen ke East 98th street dibagian timur Brooklyn denagn nama “ Marley Boulevard”. Dan masih banyak lagi penghargaan yang dia terima sebagai penghormatan dari jejak yang Bob Marley tinggalkan, dan saya yakin masih akan ada dan ada banyak lagi kekinian dan keakanan dari “kita-mereka” sebagai bagian dari dunia yang akan memberikan hal serupa. Kisah hidup Bob Marley ialah sebuah arketipe, itulah kenapa karya-karyanya abadi dan terus bergema.

Bob Marley berbicara tentang represi politik, wawasan metafisik dan artistik, kesejahteraan dan apa saja yang mengusiknya. Bagi penggemarnya (orang Barat pada khususnya), kebenaran-kebenaran apokaliptik (wahyu) Bob Marley sungguh inspiratif dan mengubah hidup. “No Women No Cry” masih akan terus mengahapus air mata dari wajah seorang janda, “Exodus” masih akan memunculkan para kesatria, “Redemption Song” masih akan menjadi tangisan emansipasi untuk melawan segala tirani, “Waiting In Vain” akan tetap menggairahkan, dan “One Love” akan terus menjadi himne internasional bagi kesatuan kemanusiaan di dunia melampaui batas-batas, melampaui kepercayaan-kepercayaan, di mana tiap orang akhirnya sadar dan mempelajarinya. Bob Marley bukan hanya sekedar bintang musik yang sebagian besar rekamannya memecahkannya rekor internasional, namun ia juga menjadi figur moral dan religius. Selain Bob Marley, kita harus mengakui bahwa banyak musisi yang lebih unggul dari penemuan instrumental, gaya vokal, gubahan musik, dan sebagainya. Tetapi hanya Bob Marley yang membuat kita melihat ribuan orang Hopi dari Mexico, Maori dari Selandia Baru bahkan komunitas-nya di Indonesia (antara lain Jogjakarta dan Bali), berkumpul setiap tahun untuk menghormatinya. Pada kenyataannya, bahkan bagi grup musik sebesar The Beatles , kita jarang melihat orang-orang mengenakan kaos The Beatles di sekitar kita, kecuali sedikit kaos bergambar Jhon Lennon yang murung. Pernahkah kita melihat wajah Elvis yang tampan di sulam di lengan baju tentara gerilya? Pernahkah kita melihat Micheal Jackson, Bob Dylan atau Madona di cetak pada sarung-sarung pantai sepanjang Malioboro dan Pantai Kuta? Semua itu hanya dimiliki Marley, ikonografinya menjadi sebuah bahasa universal baru, sebagai simbol perlawanan dan kebebasan di bumi ini.

Banyak penggemarnya di seluruh dunia yang meniru gaya rambut Deradlocknya karena fanatik walaupun tidak sedikit pula yang meniru Dreadlock Bob Marley hanya karena terkena imbas voyeurisme, padahal sebenarnya Dreadlock Bob Marley sebagai bagian dari keyakinannya akan ajaran Rastafarian, dan bukan! dari hasil pengkultusan selebriti idolanya. Massa menginginkan differensi (perbedaan) melalui konsumsi dan tontonan, sebagaimana yang di kemukakan oleh Braudrillard, “ Mereka hanya menginginkan tontonan.. mereka hanya menginginkan tanda (sign), mereka mengidolakan permainan tanda dan stereotip-stereotip, mereka mengidolakan kandungan isi selama isi itu mengubah dirinya sendiri menjadi rangkaian tontonan-tontonan”. Pada umumnya di Indonesia, sosok Bob Marley diidentikan dengan ganja (“konon” banyak “penggemar” Bob Marley yang menggunakannya), padahal sebenarnya, ganja adalah ritual serta bagian dari ajaran rastafari dan Bob Marley adalah penganutnya. Wajar bila dia mengkonsumsi, menjadikannya syair dan menyanyikannya sebagai “sabda-sabda” karena posisinya sebagai nabi dalam ajaran rastafarian. Yang pasti, “kesenangan dan penghayatan” dalam proses ritual Bob Marley dengan ganja jelas ada!, dan sebagai penggemarnya apakah kita harus mengikutinya?... tanyakan pada sanitas “yang bergoyang”. My Big Respect

Tidak ada komentar:

Posting Komentar